KELUARGA MEMILIKI PERAN VITAL TERBENTUKNYA KARAKTER ANAK

Share to :
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Keluarga merupakan sentra sekaligus benteng terakhir dalam proses terbentuknya moral generasi penerus/anak. Jika benteng terakhir tersebut rusak, maka harapan dan cita-cita bangsa Indonesia dalam mencapai generasi emas pada tahun 2045 mendatang terancam sirna. Permasalahan ini menjadi perhatian dan pemikiran LDII menjelang terselenggaranya Musyawarah Nasional (Munas) VIII yang dilakasanakan pada tanggal 8-10 November 2016.

Agar peran keluarga dalam terbentuknya karakter sekaligus persiapan munas dapat berjalan maksimal, DPP LDII melakukan audiensi dengan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di Kantor Kementerian Sosial pada hari Kamis (8/9). Pada pembahasan  tersebut, Khofifah menyorot persoalan peran keluarga. Tren yang berkembang saat ini banyak pasangan yang menikah minim pembekalan peran keluarga.

Khofifah  menjelaskan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia ditemukan sebanyak 25 % dari kurang lebih 2 juta pernikahan tahun 2016 banyak terjadi Married by Accident (MBA). Khofifah menjelaskan akibat MBA banyak pernikahan yang tidak diinginkan, sehingga berpengaruh terhadap perceraian dengan kata lain MBA menyebabkan tingginya angka perceraian. Tingginya angka gugat cerai istri terhadap suami termasuk tinggi, yang berada pada kisaran 60-70 persen dari 382.231. Pada daerah DKI Jakarta angka perceraian berada pada kisaran 70 % dan kasus yang tertinggi pada daerah Makasar 75 %.

Pernikahan yang kurang dibekali pemahaman fungsi keluarga akan mengakibatkan anak menjadi rusak yang biasa dikenal dengan sebutan “anak broken home”, dan anak yang seperti ini cenderung lebih mudah terpapar pergaulan negatif, misalnya penyalahgunaan narkoba, terorisme, hingga LGBT. Khofifah membandingkan jika dulu orang tua was-was jika laki-laki bersama perempuan. Kenyataannya sekarang laki laki bersama laki laki sudah harus diwaspadai.

“LGBT sudah memakan korban berdasarkan temuan Bareskrim. Soal kasus prostitusi gay di Bogor, kami melihat anak-anak itu sebagai korban. Dari 103 orang baru 7 orang yang dikirim ke Mensos. Di antara mereka ada yang malu dan menyesal dengan keluarganya,” ujarnya.

Minimnya pengawasan keluarga menyebabkan korban tersangkut sindikat. Ia menyarankan agar orang tua lebih meningkatkan kewaspadaan dan masawas diri dan menjalin hubungan komunikasi yang efektif  terhadap anak. Pada saat ini pengaruh negatif bisa saja berada disekitar kita. Peran media masih belum terlihat dalam penyampaian pesan moral tentang peran keluarga yang semestinya.

Khofifah menghimbau LDII agar dapat berkontribusi dalam upaya merehabilitasi anak. Pasalnya, anak-anak yang telah terjerumus dalam pengaruh negatif  seperti kekerasan seksual, pelanggaran perdata dan pelanggaran pidana kesemuanya adalah korban. Mereka sangat membutuhkan rehabilitasi yang disebut Anak Bantuan Hukum (ABH)

Pada saat ini, 8900 anak memiliki permsalahan hukum, 59%nya berada di lapas dewasa. Panti ABH yang telah tersebar di Pekanbaru, NTB, Temanggung dan beberapa daerah lain ini sangat disayangkan oleh Kohofifah karena tidak memaksimalkan perannya. Ia menyebutkan panti-panti tersebut seharusnya melakukan sedikit pendekatan dalam rehabilitasi.

“Saya menginginkan panti ABH menggunakan pendekatan religius dan psikologis  dalam perehabilitasian. Kami sudah melakukan kemitraan dengan banyak universitas namun hasilnya tidak efektif. Maka dari itu saya mengajak LDII bisa menyiapkan psikolog dan guru ngaji,”ungkapnya (Lines)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram