Stigma Masjid LDII Dipel Terjawab Lewat Riset Cendekiawan Muda NU Ahmad Ali

Share to :
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Jakarta (15/8). Stigma negatif terhadap kelompok tertentu seringkali tersebar tanpa verifikasi. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) selama puluhan tahun menerima stigma bahwa masjid mereka dipel jika orang luar komunitas salat di sana.

Stigma tersebut akhirnya mendorong Ahmad Ali, seorang cendekiawan muda Nahdlatul Ulama (NU), untuk melakukan riset yang kemudian menghasilkan buku berjudul “Nilai-Nilai Kebajikan dalam Jamaah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)”.

“Sejak lama saya mendengar stigma ini. Tahun 2002 seorang teman di daerah Perak, dekat Pesantren Gading Mangu, pernah mengatakan bahwa jika kita salat di masjid itu, lantainya akan dipel karena dianggap najis. Dua puluh tahun kemudian saya baru tahu masjid itu ternyata milik LDII. Maka pada 2021 saya memutuskan untuk meneliti lebih dalam hingga akhirnya terbit buku ini,” ungkap Ahmad.

Menurutnya, berkembangnya stigma ini karena masyarakat hanya mendengar dari ‘kata orang’ tanpa melakukan penelitian langsung. Meski penelitian serupa pernah ada, ia merasa harus membuktikan sendiri.

“Dalam observasi saya, semua masjid LDII memiliki sandal di tempat wudhu, toilet, kamar mandi, hingga ruang tamu atau wisma. Bagi peneliti, ini hal menarik. Ada kaitannya sandal dengan kebersihan dan kesucian. Ternyata, hal tersebut berkaitan dengan konsep taharah,” jelasnya.

Ahmad Ali, yang sejak lulus SD tahun 1991 menimba ilmu di pesantren, menguraikan bahwa sesuatu dianggap suci bila memenuhi tiga sifat: rasa, bau, dan warna. Jika salah satu sifat itu masih ada, maka najis dianggap belum hilang.

“Dari riset mendalam, saya memahami alasan mengapa lantai masjid bisa dipel setelah dipakai orang luar. Itu dilakukan demi menjaga kesucian. Saat salat, bukan hanya badan yang harus suci, tapi juga alat salat serta tempatnya. Banyak yang belum memenuhi standar tersebut,” ujarnya.

Ia menilai praktik LDII sejalan dengan prinsip taharah yang dipelajari umat Islam secara umum. LDII memiliki kumpulan hadis terkait taharah dan salat. Salah satu contohnya, bak air di masjid mereka berkapasitas dua kulah atau sekitar 200 liter, sesuai dasar hukum syariat. Dengan ukuran itu, najis yang tercampur air bisa hilang.

“Kalau tidak diteliti, alasan sebenarnya tidak akan diketahui. Bisa jadi orang beranggapan dipel karena najis, padahal mungkin memang jadwal rutin pembersihan. Dalam buku ini saya menekankan nilai kebajikan LDII, yakni kebersihan, kerapian, kedisiplinan, dan kesucian,” terangnya.

Ia juga menjelaskan, penggunaan sandal mencerminkan keselarasan sistem pendidikan LDII dengan praktik keseharian. Kesucian dijaga dari kamar mandi hingga tempat salat. Sandal yang selalu rapi dan dibalik ke arah luar masjid, menurut Ahmad, merupakan bentuk kerapian dan kedisiplinan.

“Kemandirian pun terlihat dari kebiasaan sederhana itu. Setiap orang menata sandalnya sendiri tanpa menunggu orang lain melakukannya,” jelasnya.

Dengan demikian, stigma yang beredar akhirnya terjawab lewat penelitian. Buku karya Ahmad Ali ini membuktikan bahwa praktik LDII, meski tampak aneh bagi sebagian orang, sesungguhnya berlandaskan syariat Islam. Tujuannya menjaga kebersihan dan kesucian, dua prinsip utama dalam ajaran Islam.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram