Jakarta (6/12). Warga LDII meraih Indonesian Breeder Award (IBA) 2025 pada Rabu (19/11) di Bogor, dan momentum itu dipandang memperkuat dorongan untuk menjaga kedaulatan pangan nasional. Penghargaan tersebut membuka kembali diskusi publik mengenai urgensi ketahanan pangan di Indonesia.
Persoalan pangan dinilai bukan hanya pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pangan dipandang menjadi komoditas strategis dan alat diplomasi antarnegara, sehingga pengabaian terhadap sektor tersebut dinilai berpotensi mengancam kedaulatan.
Hal itu disampaikan Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso. Ia menegaskan komitmen seluruh elemen bangsa wajib hadir dalam mengawal kebijakan swasembada pangan yang kini tengah diperjuangkan pemerintah.
“Di tengah tekanan perubahan iklim dan alih fungsi lahan, Indonesia tengah berjuang mewujudkan swasembada pangan. Sebagai langkah untuk membangun kedaulatan pangan. Kebijakan tersebut harus didukung oleh seluruh elemen bangsa, baik pemikiran, tenaga, maupun kritik yang membangun,” tutur Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Ia mengingatkan pengalaman Indonesia pada pertengahan 1990-an saat berhasil mencapai swasembada pangan, namun upaya tersebut terganjal kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1998. Dukungan subsidi dicabut dan membuat sektor pertanian runtuh oleh tekanan rentenir, jalur pasok panjang, serta monopoli perusahaan besar.
“Kebijakan tersebut mematikan petani yang pondasi usahanya lemah. Akibatnya, pertanian secara nasional tertatih-tatih akibat rentenir, jalur pasok berkepanjangan, monopoli perusahaan pertanian raksasa, yang berakibat pada kesejahteraan petani dan peternak. Termasuk program swasembada pangan,” tuturnya.
Di sisi lain, subsidi tetap diberikan di negara-negara seperti Uni Eropa dan Amerika Utara. Pemerintah di sana menjaga produktivitas petani agar mampu memenuhi kebutuhan domestik dan menembus pasar ekspor.
“Abad 21 menandai perang ekonomi, di mana pangan menjadi salah satu alat tekan. Negara-negara pengekspor pangan mampu mengendalikan negara lain, bila mereka memiliki kepentingan terhadap suatu negara,” ujar KH Chriswanto.
Dorongan inovasi kembali disampaikan KH Chriswanto setelah Rubiyo, Peneliti Ahli Utama BRIN dan warga LDII Bogor, menerima penghargaan “Indonesian Breeder Award (IBA) 2025 Kategori Social Impact”. Acara itu diselenggarakan Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) bekerja sama dengan IPB University dan PT East West Seed Indonesia (EWINDO), di IPB International Convention Center, Bogor, Jawa Barat.
Rubiyo menjelaskan, IBA menjadi penghargaan tertinggi bagi insan pemulia yang berdampak besar pada pengembangan IPTEK, ekonomi, dan sosial.
“Tahun ini, terdapat tujuh kategori penghargaan, yakni economic impact, social impact, innovation and technology development, lifetime achievement, local heroes, young breeder, dan plasma nutfah,” kata Rubiyo.
Ia menyampaikan pihaknya telah merakit varietas unggul kakao dan kopi yang kini diadopsi petani maupun industri. Ia menyebut peningkatan produktivitas kakao telah berhasil dicapai melalui inovasi yang dikembangkan.
“Varietas tersebut, telah diadopsi oleh petani pekebun, perusahaan perkebunan, dan masyarakat lainnya. Secara teknis, kami telah mampu meningkatkan produksi kakao dari 1.000 kg menjadi 2.500 kg biji kering/tahun/ha,” pungkas Rubiyo.
Kepala BRIN Arif Satria menekankan kebutuhan besar terhadap pemulia tanaman di Indonesia. Jumlahnya dinilai belum sebanding dengan kebutuhan pengembangan benih nasional.
“Indonesia saat ini hanya memiliki 1.000-an pemulia tanaman. Yang aktif sekitar 250-an orang, sehingga kebutuhan terhadap profesi tersebut sangat besar,” katanya.
Ia menyebut penghargaan itu memberi apresiasi terhadap kerja senyap para peneliti yang berdampak langsung pada petani dan masyarakat luas.
“Namun kontribusinya dirasakan jutaan masyarakat, melalui benih yang ditanam petani,” tutupnya.
Ia memastikan BRIN berkomitmen memperkuat inovasi lewat kerja sama perguruan tinggi, industri, pemerintah, dan masyarakat guna mempercepat kemandirian benih nasional.

