Keharmonisan Dalam Rumah Tangga Part 1: Kewajiban Suami Terhadap Istri

Share to :
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari hendaknya kita dapat menciptakan kerukunan dan kekompakan. Karena dengan kerukunan dan kekompakan akan memperkuat tali silaturrohim dan memperlancar dalam menjalankan aktivitas dan menetapi kewajiban-kewajiban ibadah. Didasari keinginan yang kuat supaya masing-masing umat Islam dapat mewujudkannya dalam tiap-tiap rumahtangganya.

Saat memutuskan untuk berkomitmen membina rumahtangga dilandasi niat ibadah dengan menetapi sunnah Rasulullah SAW supaya bersyukur dengan usaha menjaga suasana dalam keluarganya dapat rukun dan kompak sehingga tercipta rumahtangga yang sakinah mawaddah warohmah, harmonis romantis yang bahagia sampai ke surga. Maka suami istri supaya mengerti dan memahami hak dan kewajibannya.

Setelah melaksanakan pernikahan, seorang laki-laki tidak lagi disebut sebagai bujangan tetapi menjadi seorang suami kemudian menjadi ayah yang memiliki tanggungjawab yang besar dan mulia. Seperti yang telah tertulis dalam Al-Qur’an:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ

Artinya: laki-laki itu adalah pemimpin kepada istri sebab keutamaan yang Allah berikan kepada sebagain mereka laki-laki mengalahkan sebagian (perempuan) dan sebab orang laki-laki telah memberikan nafkah dari harta mereka. (QS An-Nisa : 34)

Kewajiban utama seorang suami adalah memberikan nafkah lahir dan bathin. Nafkah lahir yaitu mencukupi sandang pangan dan papan bil ma’ruf sesuai kemampuannya. Sedangkan nafkah bathin adalah mempergauli dengan baik, memberikan kasih sayang, perhatian, bimbingan, nasehat dan Pendidikan yang baik, menjaga kehormatan istri dengan tidak menjelek-jelekkan dengan ucapan yang kasar. Sebagaimana dalil dalam surat An-Nisa Ayat 19 dibawah:

 وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Artinya: Allah berfirman: dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan baik, jika kalian benci pada mereka barangkali apa yang kalian benci itu, Allah menjadikan kebaikan yang banyak didalamnya.

Dari Muawiyah Al-Qustariyyi dia berkata, aku bertanya: Wahai Rasulullah apakah kewajiban suami terhadap istri? Nabi menjawab: engkau memberi makan ketika engkau makan dan engkau memberi pakaian ketika engkau berpakaian atau ketika engkau bekerja dan engkau jangan memukul wajahnya dan jangan menjelek-jelekkan atau mendoakan jelek dan jangan meninggalkan (memisahi tidur) kecuali didalam rumah. (HR. Abu Daud, K. Nikah).

Dari Abi Huroiroh, Rasulullah SAW bersabda menasihatilah kalian (dengan nasihat yang baik) kepada wanita-wanita/istri-istri kalian karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya paling bengkoknya sesuatu pada tulang rusuk adalah yang paling atas, apabila engkau meluruskan (dengan serta merta), maka engkau mematahkannya, dan apabila engkau membiarkan maka tidak henti-hentinya tulang rusuk itu bengkok, maka menasihatilah kalian kepada wanita-wanita/istri-istri. (HR. Bukhori).

Suami sebagai figur pemimpin dalam rumah tangga harus dapat menjadi pemimpin yang baik serta bertanggungjawab dapat jadi pengayom dan pelindung dalam keluarganya, banyak sabarnya, mau bermusyawarah untuk kebaikan, mudah mengalah, mau mengakui kesalahan dan dapat menerima kekurangan yang ada pada istrinya, sehingga dapat menjadi panutan dalam keluarga.

Sebaliknya sebagai suami jangan sampai menjadi sosok suami yang tidak bertanggungjawab, mudah tersinggung, mudah marah, selalu merasa benar, tidak peduli dengan keluarga, sering keluyuran yang tidak manfaat, sehingga anak istrinya tidak teramut dan kurang mendapatkan kasih sayang. Terlebih sampai berani berbuat kasar baik perkataan maupun perbuatan, mudah mengucapkan talaq, dan lain-lain. Ini jangan sampai terjadi! Nabi SAW bersabda: mengapa salah satu kalian memukul istrinya seperti memukul unta atau budak, kemudian setelah itu barangkali dia memeluknya/menjima’nya. (HR. Bukhori, K. Adab).

Bersambung.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram