Jakarta (31/3). Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) KH Chriswanto Santoso menegaskan bahwa Idul Fitri menjadi momentum untuk mengingat kembali esensi demokrasi Indonesia yang berbasis gotong royong, bukan demokrasi liberal. Dalam demokrasi gotong royong, perbedaan pendapat diselesaikan secara konstruktif dengan cara musyawarah untuk mencapai keputusan yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia.
KH Chriswanto menyampaikan hal tersebut dalam pernyataannya menyambut Idul Fitri 1446 H. Ia menekankan bahwa demokrasi di Indonesia bukan kebebasan tanpa batas yang berujung pada saling hujat, tetapi semangat merekonstruksi kebijakan bersama demi kepentingan umum. “Demokrasi Indonesia bukan demokrasi bebas menghujat, tapi demokrasi yang mengutamakan kebersamaan dalam menyusun kebijakan yang selaras dengan kepentingan rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, demokrasi yang diterapkan di Indonesia memiliki landasan Pancasila yang menekankan gotong royong. Setiap sila dalam Pancasila mengandung nilai saling menghargai dan menghormati, serta menumbuhkan sikap tepo seliro. “Demokrasi kita menekankan komunalisme, tidak mementingkan diri sendiri atau kelompok tertentu, tetapi mengedepankan kepentingan bersama,” tambahnya.
Lebih lanjut, KH Chriswanto menekankan bahwa Idul Fitri menjadi waktu yang tepat untuk mengembalikan semangat kebersamaan dan persatuan bangsa. Ia mengingatkan bahwa krisis moneter yang berujung pada krisis sosial pada tahun 1998 menjadi pelajaran penting bahwa perpecahan hanya membawa penderitaan bagi masyarakat.
“Idul Fitri adalah momen saling memaafkan, membuang rasa dengki dan kebencian. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa penyakit umat sebelum kita adalah dengki dan kebencian, yang dapat mengikis habis amal kebaikan,” jelasnya.
KH Chriswanto juga mengingatkan pentingnya pemimpin dan oposisi yang baik demi menjaga kestabilan negara. Ia mengutip Surat Al-Hasyr ayat 10 yang menegaskan bahwa hati yang bersih dari kedengkian dapat diupayakan melalui doa. “Sebagai sebuah bangsa, kita harus meminta kepada Allah agar tidak ada kedengkian di antara sesama orang beriman,” paparnya.
Ia menegaskan bahwa perbedaan pendapat tidak boleh dijadikan alasan untuk memusuhi sesama anak bangsa. Perselisihan yang berujung pada perpecahan justru merugikan semua pihak. “Orang yang bangkrut adalah mereka yang membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi di dunia ia mencaci, menuduh, dan mencemarkan nama baik orang lain,” ungkapnya.
Lebih lanjut, KH Chriswanto menyoroti dampak media sosial terhadap budaya berkomunikasi di Indonesia. Menurutnya, bangsa yang dikenal ramah tamah ini justru menunjukkan perilaku berlawanan di dunia maya. “Kita dinilai sebagai netizen yang tidak sopan. Jika cacian dibalas dengan cacian, itu artinya kita juga berperilaku jahat. Demokrasi kita terasa panas karena diisi dengan kemarahan tanpa solusi,” tegasnya.
KH Chriswanto menutup pernyataannya dengan mengajak seluruh masyarakat menjadikan Idul Fitri sebagai ajang introspeksi dan perbaikan diri. “Indonesia terlalu berharga untuk dikorbankan demi kepentingan kelompok tertentu. Mari jadikan media sosial sebagai sumber pahala, bukan dosa dan permusuhan,” tutupnya.
Ketua LDII Provinsi Sumatera Barat, H. Muchfiandi, turut mengomentari pernyataan tersebut dengan menggarisbawahi pentingnya semangat gotong royong dalam demokrasi Indonesia. Menurutnya, pemahaman tentang demokrasi harus terus diperkuat agar tidak melenceng ke arah liberalisme yang dapat memecah belah bangsa. “Kita harus menjaga nilai-nilai demokrasi yang selaras dengan Pancasila dan budaya gotong royong. Jika demokrasi hanya diartikan sebagai kebebasan mutlak, maka yang terjadi adalah perpecahan, bukan persatuan,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya Idul Fitri sebagai momen refleksi bagi seluruh elemen bangsa. “Idul Fitri mengajarkan kita untuk kembali kepada fitrah kemanusiaan, membersihkan hati dari kebencian, dan merajut kebersamaan. Inilah yang seharusnya menjadi semangat kita dalam menjalankan demokrasi di Indonesia,” jelasnya.
Muchfiandi juga mengingatkan agar masyarakat lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Ia menegaskan bahwa perilaku negatif di dunia maya hanya akan memperkeruh keadaan dan memperlebar jurang perpecahan. “Media sosial seharusnya menjadi alat pemersatu, bukan pemicu permusuhan. Mari kita gunakan media sosial sebagai sarana menyebarkan kebaikan, bukan kebencian,” pungkasnya. (Rohmat/Lines)