KH Chriswanto Santoso: Moral dan Spiritualitas Harus Jadi Pondasi Prajurit TNI

Share to :
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Jakarta (4/10). Tantangan bangsa ke depan semakin kompleks. Ancaman terhadap Indonesia kini tidak hanya datang dari militer konvensional, tetapi juga dari perang siber, disinformasi, radikalisme, serta krisis energi dan pangan. Untuk menghadapi perang non-konvensional tersebut, TNI dituntut agar terus berinovasi dan mampu beradaptasi menemukan strategi baru.

Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT TNI). Ia menegaskan bahwa religiusitas prajurit merupakan fondasi penting, “TNI harus tetap waspada, tidak boleh lengah, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Profesionalisme mesti berjalan seiring dengan penguatan moral dan spiritual prajurit,” tegasnya.

Menurut KH Chriswanto, anggota TNI yang bertugas di garis depan wilayah konflik perlu diperkokoh dengan keimanan dan ketakwaan, sehingga mereka dapat bersabar dan menggunakan hati nurani dalam menjalankan tugas, baik saat tempur maupun di masa damai. Ia juga menekankan pentingnya sinergi TNI dengan organisasi keagamaan untuk memperkuat ketahanan bangsa.

“Kami berkomitmen mendukung TNI melalui pembinaan generasi muda agar memiliki karakter religius, nasionalis, dan cinta tanah air. Kami yakin kekuatan bangsa tidak hanya bersandar pada alutsista modern, tetapi juga pada akhlak, iman, dan keteguhan moral rakyatnya,” tambahnya.

Namun, KH Chriswanto mengingatkan bahwa TNI harus senantiasa berdiri di atas kepentingan bangsa, bukan kepentingan politik sesaat. Ia menegaskan, “TNI wajib netral, tegak lurus pada UUD 1945, dan menjadi pengawal demokrasi. Jangan sampai kekuatan TNI diperalat oleh pihak tertentu. Kesetiaan TNI hanya untuk rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua DPP LDII Prof Singgih Tri Sulistiyono menilai bahwa peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) TNI ke-80 menjadi momentum penting untuk merefleksikan perjalanan panjang Tentara Nasional Indonesia sejak 5 Oktober 1945 hingga kini yang telah menjelma menjadi institusi pertahanan modern.

Menurutnya, TNI telah mengalami berbagai fase transformasi. Pada masa revolusi (1945–1949), TNI berperan sebagai garda bangsa yang mempertahankan kemerdekaan. Konsolidasi dan penumpasan pemberontakan mendominasi era 1950–1965, meski pada periode itu juga muncul peran ganda militer. Selama masa Orde Baru, TNI menjadi pilar kekuasaan dengan dominasi politik, namun kemudian dikritik karena melahirkan otoritarianisme. Reformasi 1998 menjadi titik balik saat dwifungsi dicabut, TNI dipisahkan dari Polri, dan diarahkan kembali ke jalur profesionalisme.

“Sekarang TNI tengah bergerak menjadi militer profesional yang modern dengan modernisasi alutsista, peningkatan kualitas SDM, serta keterlibatan aktif dalam diplomasi pertahanan global,” ujar Singgih yang juga Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang.

Terkait tema HUT TNI ke-80 yang menyoroti profesionalisme, modernisasi, dan kedekatan dengan rakyat, Singgih menjelaskan bahwa nilai-nilai tersebut sejalan dengan sejarah TNI. Sejak awal kemerdekaan, TNI lahir dari rakyat dan berjuang bersama rakyat. Reformasi menegaskan kembali peran profesionalnya, sementara modernisasi menjadi keniscayaan menghadapi tantangan pertahanan era teknologi baru.

“Profesionalisme mencerminkan netralitas politik dan peningkatan kualitas prajurit. Modernisasi menjadi syarat untuk menghadapi spektrum ancaman baru. Kedekatan dengan rakyat mengingatkan kembali jati diri historis TNI sebagai tentara yang lahir dari rakyat dan untuk rakyat,” jelasnya.

Visi TNI pada usia ke-80 yang mengusung jargon PRIMA (Profesional, Responsif, Integratif, Modern, dan Adaptif) juga disoroti oleh Singgih. Ia memandang visi tersebut sebagai kelanjutan dari identitas historis TNI sejak 1945, bukan hal yang benar-benar baru. Sejak awal, TNI terbukti mampu responsif dan adaptif ketika bertransformasi dari laskar rakyat menjadi tentara nasional.

“Watak integratif TNI terlihat ketika keutuhan NKRI berhasil dijaga melalui penumpasan pemberontakan di berbagai daerah. Kini, menghadapi tantangan global seperti ancaman siber dan dinamika geopolitik Indo-Pasifik, TNI dituntut untuk semakin modern dan adaptif,” paparnya.

Ia menambahkan, dengan memahami sejarah TNI, generasi muda akan menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari mata rantai panjang perjuangan bangsa. “Mereka memiliki tanggung jawab untuk meneruskan cita-cita menjaga kedaulatan, persatuan, dan martabat Indonesia,” pungkas Singgih.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram