KLHK Dukung Penuh Upaya LDII Jaga Lingkungan dan Kurangi Jejak Karbon

Share to :
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Jakarta (3/6). Dalam rangka memperingati Hari Bumi ke-55, DPP LDII melalui Departemen Litbang, Iptek, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan Hidup (LISDAL) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar webinar bertajuk “Pengenalan Jejak Karbon dan Cadangan Karbon dalam Upaya Mengatasi Perubahan Iklim,” secara hybrid di Kantor DPP LDII Senayan, Jakarta pada Sabtu (31/5) lalu.

Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso dalam sambutannya menilai bahwa krisis lingkungan yang tengah dihadapi bukanlah fenomena yang muncul tiba-tiba. Krisis ini merupakan hasil dari akumulasi kelalaian manusia dalam menjaga bumi selama bertahun-tahun. Ia mengingatkan bahwa bumi bukan hanya tempat tinggal, tapi juga amanah besar yang harus manusia jaga sebagai khalifah di muka Bumi.

Temuan-temuan ilmiah terbaru soal perubahan iklim juga disoroti oleh KH Chriswanto. Ia menyampaikan laporan CNN Indonesia pada 28 Mei 2025 yang menyebut adanya perpindahan air dalam jumlah besar dari daratan ke lautan dalam dua tahun terakhir. Peristiwa ini mengganggu keseimbangan redistribusi air dunia, dan bahkan diperingatkan sebagai potensi menuju skenario akhir zaman jika tidak segera ditanggulangi.

Kontribusi dari pencairan es Greenland yang hanya 0,8 milimeter per tahun masih kalah dibanding kenaikan permukaan laut global yang mencapai 1,95 milimeter per tahun. Bahkan, Kompas mencatat bahwa jarak bumi dan bulan pun terus menjauh, sehingga memperlambat rotasi bumi. KH Chriswanto menyebut bahwa di masa depan, satu hari mungkin tidak lagi 24 jam, tapi bisa menjadi 25 jam. Ia menekankan bahwa fakta-fakta ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai peringatan dini agar manusia bisa kembali bersikap bijak terhadap alam.

“Tidak perlu menunggu sempurna atau besar. Yang dibutuhkan adalah kesadaran dan konsistensi. Bumi sudah dianugerahkan kepada manusia, bukan untuk dieksploitasi, melainkan untuk dirawat bersama. Upaya mengurangi jejak karbon bukan semata soal angka, tapi juga bentuk ketaatan pada amanah yang diberikan kepada umat manusia sebagai khalifah di bumi,” ungkapnya.

Lebih dari lima juta pohon sudah ditanam oleh LDII di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) juga telah dimanfaatkan oleh beberapa pondok pesantren dan kantor pusat LDII, dan pemanfaatannya terus diperluas ke berbagai daerah. Bahkan, pembangkit listrik tenaga mikrohidro telah dikembangkan oleh LDII di sejumlah wilayah sebagai bentuk adaptasi ramah lingkungan dari potensi lokal.

KH Chriswanto menegaskan bahwa LDII melakukan semua langkah tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual terhadap kelestarian bumi. Ia berharap bahwa semakin banyak individu maupun lembaga akan tergerak melakukan hal serupa, karena perubahan iklim adalah isu global yang tidak mengenal batas negara, agama, maupun status sosial.

“Ini bukan soal besar atau kecilnya aksi kita. Tapi apakah kita mau bergerak dan memulai meski hanya dengan langkah-langkah kecil yang kita lakukan secara bersama dan serentak tentu dampaknya akan besar jika dilakukan secara kolektif,” tutupnya.

Di sisi lain, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK, Irawan Asaad, menjelaskan bahwa aktivitas manusia telah mengubah komposisi gas rumah kaca di atmosfer, seperti CO2 dan metana, sehingga memicu efek rumah kaca dan pemanasan global. Energi, industri, limbah, pertanian, dan kehutanan adalah lima sektor utama yang paling banyak menyumbang emisi karbon.

“Dampak perubahan iklim sudah nyata, meliputi kelangkaan air, kerusakan ekosistem darat dan laut, menurunnya kualitas kesehatan, kelangkaan pangan, hingga meningkatnya bencana hidrometeorologi yang kini mencapai 80% dari total bencana di Indonesia,” ungkapnya.

Langkah-langkah LDII, seperti penggunaan PLTS di pondok pesantren, pengelolaan sampah mandiri, dan keterlibatan dalam gerakan Proklim, diapresiasi oleh Irawan.

“Ini adalah contoh nyata bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah-langkah kecil yang dilakukan secara kolektif,” ujarnya.

Jejak karbon (carbon footprint) menurut Irawan sangat penting untuk diukur sebagai bentuk tanggung jawab atas emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ia membagi jejak karbon ke dalam empat kategori: individu (dari aktivitas harian seperti makanan dan transportasi), organisasi (dari energi dan kendaraan operasional), negara (dari konsumsi dan aktivitas perdagangan), dan produk (dari proses produksi hingga daur ulang).

Komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon melalui NDC (Nationally Determined Contributions) dikelola oleh KLHK. Energi terbarukan, rehabilitasi hutan, efisiensi energi, serta perdagangan karbon dijadikan instrumen untuk mendukung pencapaian target tersebut. Program mitigasi dan adaptasi yang melibatkan berbagai pihak, dari pemerintah daerah hingga masyarakat, juga terus dikembangkan.

Irawan mendorong LDII untuk terus aktif dalam menyebarluaskan serta menyosialisasikan langkah-langkah mitigasi perubahan iklim. Ia yakin bahwa LDII bisa memberi kontribusi besar dengan meningkatkan kesadaran dan membangun aksi kolektif dalam menjaga lingkungan hidup.

Lebih dari 250 titik studio mengikuti webinar ini. DPW dan DPD LDII, sekolah-sekolah, serta pondok pesantren di bawah naungan LDII ikut berpartisipasi. Webinar ini sekaligus menjadi wujud dari komitmen LDII dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam dan membangun kesadaran kolektif demi pembangunan berkelanjutan.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram