Jakarta (13/1). Berbagai bencana alam yang terjadi di berbagai tempat seperti banjir, tanah longsor, dan erupsi gunung dirasa akrab dengan masyarakat Indonesia. Bencana tersebut, salah satunya dipicu oleh sikap manusia yang kian abai menjaga kelestarian alam dan kondisi geografis Indonesia.
“Bila kelestarian lingkungan diabaikan masyarakat, sedangkan kita hidup di jalur khatulistiwa dan berada di lingkaran cincin api pasifik yang rawan gempa bumi dan erupsi gunung berapi, maka datangnya bencana tinggal setiap waktu dapat terjadi” ujar Ketua DPP LDII Sudarsono, yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB).
Ia menjelaskan, posisi geografis di khatulistiwa di satu sisi memberi keunggulan tersendiri bagi Indonesia karena cahaya matahari tersedia sepanjang tahun. Geografis Indonesia dengan banyak gunung api aktif menjadikan tanahnya subur karena selama jutaan tahun disiram abu vulkanik secara berkelanjutan, sehingga memungkinkan beragam tanaman tumbuh. Indonesia juga hanya memiliki dua musim, yang memungkinkan petani bisa bercocok tanam dengan baik sepanjang tahun.
Namun di balik kesuburan tanah dan iklim yang bersahabat itu, menurut Sudarsono, ada ancaman bencana silih berganti.
Indonesia memang tidak seperti negara tetangga Filipina yang rentan badai dan siklon, karena berada di garis khatulistiwa. “Badai atau siklon itu menjadi bencana yang paling merusak di Filipina. Badai dimulai saat massa udara hangat dan lembab dari permukaan laut, mulai naik secara cepat lalu bertabrakan dengan massa udara yang lebih dingin,” ujarnya.
Siklon tropis kerap terbentuk di atas Samudra Atlantik atau Samudra Pasifik bagian timur yang kerap menyerang berbagai wilayah di Filipina. Sementara itu, meski Indonesia hanya kebagian ekor badai tropis yang menghantam, sudah cukup memunculkan fenomena hujan lebat yang kerap mendatangkan banjir dan tanah longsor. Inilah pentingnya, masyarakat memiliki mental kebencanaan yang perlu diajarkan sejak dini.
“Contoh mutakhir adalah masyarakat Jepang yang kerap dihantam bencana gempa bumi, mereka memiliki kesiapan yang tinggi dalam menghadapi bencana. Sejak dini rakyat Jepang telah diajarkan bagaimana bertahan hidup saat menghadapi bencana sehingga meski sering terkena bencana tetapi korban jiwa bisa diminimalisir. Bangunan-bangunan di Jepang telah mengadopsi teknologi untuk menurunkan risiko kerusakan saat diguncang gempa,” ujar Sudarsono.
Rakyat Jepang sudah biasa menyiapkan bahan makanan yang tahan disimpan dalam jangka panjang di bunker rumah, agar saat bencana bisa bertahan hidup, “Pendek kata mereka akrab dengan kesiagaan, sedia payung sebelum hujan,” paparnya.
Dengan memiliki mental kebencanaan berupa kesiagaan, korban jiwa dapat diminimalkan bahkan kerugian harta dan benda, “Pemerintah daerah dan ormas bisa berperan memberi edukasi kepada masyarakat mengenai kebencanaan dan langkah antisipasinya,” kata Sudarsono.
Sebagian besar masyarakat di wilayah pedesaan, memiliki kearifan lokal mengenai tanda-tanda bencana, menurut Sudarsono, informasi tersebut bisa diolah kembali dengan konteks kekinian. Dengan menggali kembali kearifan lokal tersebut, masyarakat memiliki kesadaran dalam mengantisipasi bencana.
“Bahkan dakwah pun bisa jadi medium untuk mengkampanyekan penghijauan untuk mencegah banjir dan longsor, dengan ungkapan sederhana. Misalnya, bila hutan terus ditebangi, mata air kering lalu ke mana kita bisa berwudhu,” pungkasnya.
Sudarsono mengatakan dengan membuat contoh-contoh sederhana itu, masyarakat bisa tergugah untuk memiliki kesiapan mental kebencanaan sekaligus mengantisipasi bencana yang datang.
Menurutnya, kesiapan SDM untuk membantu masyarakat dalam menghadapi bencana juga sangat penting. Sejak lima tahun lalu, LDII telah menyiapkan SDM yang tergabung dalam Taruna Tanggap Bencana (Tagana) yang merupakan program dari Kementerian Sosial. Selain itu LDII menyiapkan Relawan LDII di berbagai daerah. “Dengan makin banyak anak-anak muda bergabung dalam Relawan LDII, Tagana dan lainnya maka sangat membantu pada awal bencana terjadi. Ini sangat membantu masyarakat,” imbuhnya.
Diwaktu berbeda, Ketua DPW LDII Provinsi Sumatera Barat M. Ari sultoni mengatakan, sikap siap dan siaga merupakan bentuk ikhtiyar manusia dalam mengahdapi berbagai kemungkinan terjadinya bencana alam. Sumatera Barat sendiri secara geografis merupakan daerah rawan gempa dan tsunami sehingga sudah sewajarnya edukasi kesiap siagaan dalam menghadapi bencana perlu diterima dan dipahami masyarakat serta warga LDII.
“Ihtiyar dalam bentuk do’a maupun kesipan diri dalam menghadipi potensi bencana sangat diperlukan oleh masyarakat, contohya menghadapi gempa bumi, bukan gempanya yang diberi perhatian khusus oleh masyarakat, tapi bangunannya, posisi saat terjadi gempa, tidak panik dan lain-lain,” tutupnya. (kim/*)