LDII MINTA PEMERINTAH AJARKAN KEDAULATAN LAUT INDONESIA SEJAK DINI

Share to :
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Awalnya Indonesia berjarak dengan konflik Laut China Selatan dan berusaha untuk bersikap netral aktif, rupanya Indonesia harus terseret kedalam pusaran konflik. Seperti yang telah disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada (20/3) lalu, telah terjadi dugaan pelanggaran kapal penjaga pantai China di wilayah Indonesia.


Susi menyampaikan bahwa telah terjadi insiden saat kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan China. Kapal tersebut diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Natuna, Kepulauan Riau, (19/03/2016). “Pada saat kapal patroli mengawal kapal China, muncul kapal penjaga pantai China mengejar dan menabrak kapal tersebut, sehingga kapal tersebut rusak dan tidak dapat ditarik,” Ungkap Susi

Menanggapi insiden tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying mengatakan kapal nelayan dari negaranya telah turun temurun mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan penangkapan ikan. Ternyata China melakukan pendekatan sejarah atas klaim Kepulauan Spartley di Laut China Selayan, yang saat ini menjadi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik Filipina. Tidak hanya berkonflik dengan Indonesia, China juga berkonflik dengan Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Dalam menaggapi konflik perbatasan tersebut, DPP LDII yang merupakan ormas Islam meminta kepada pemerintah agar menanamkan pendidikan sejak dini kepada anak-anak mengenai kedaulatan laut Indonesia. Hal ini sangat penting diwujudkan agar dapat menanamkan dan menumbuhkan rasa cinta tanah air dan memahami sejarah serta mengetahui batas-batas kedaulatan bangsa Indonesia terutama di laut.

Sejak dini anak-anak harus mengerti dan memahami ZEE Indonesia. Sesuai dengan Konvensi Hukum Laut atau lebih akrab dikenal dengan Perjanjuan Laut PBB (UNCLOS). ZEE Indonesia membentang sejauh 200 mil laut dari Pulau Natuna berdasarkan UNCLOS. China pun sebagaimana Indonesia, telah meratifikasi UNCLOS. Namun dalam penyelesaian sengketa kedaulatan laut, China justru menggunakan pendekatan sejarah.

LDII memberikan masukan kepada pemerintah Indonesia agar lebih meningkatkan kesejahteraan nelayan di Pulau Natuna dan sekitarnya, menurut Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo menyampaikan permasalahan yang kerap melanda nelayanan, yaitu para nelayan mengalami kesulitan dalam menjual hasil tangkapan mereka. Mereka kerap menjual tangkapan mereka kepada pelayan asing. Ia meminta agar pemerintah dapat membangun infrastruktur dan fasilitas agar dapat memudahkan para nelayan menjual hasil tangkapannya dan mengolahnya sehingga meningkatkan nila jual.

DPP LDII juga meminta kepada pemerintah Indonesia, untuk mengintegrasikan pengawasan Laut Natuna dengan mengintegrasikan teknologi dengan drone atau pesawat nirawak yang dikontrol dari darat dan kapal perang. Cara ini jauh lebih efisien dalam memantau pergerakan kapal nelayan maupun kapal laut asing, demikian penjelasan Prasetyo Soenaryo.

Semenatara itu Profesor Singgih Trisulistyono, guru besar Sejarah Universitas Diponegoro Semarang, menyatakan  hingga abad XX kepulauan dan karang di kawasan Kepulauan Spratlys dan Paracels merupakan terra nullius atau wilayah yang tidak ada pemiliknya atau dalam sistem hukum barat disebut “nobody’s land”, tidak diduduki dan tidak diklaim oleh negara manapun. Pemukiman nelayan yang bersifat musiman (seperti yang menjadi dasar klaim Cina) dan eksplorasi pertambangan komersial (seperti dasar klaim Filipina) bukanlah merupakan sebuah pendudukan, paling tidak oleh sebuah negara.

“Memang pada tahun 1947 China mengeluarkan peta yang memasukkan kawasan ini  sebagai wilayah mereka, namun tidak dengan koordinat yang jelas dan hanya di atas kertas saja,”kata Singgih. Dengan demikian klaim historis yang bersifat kontemporer tanpa dasar yang jelas tidak memiliki basis legal yang kuat. Menurut Singgih, bahwa pemerintah China lebih menonjolkan kekuatan militer namun dibungkus dengan diplomasi yang ambivalen. Diplomasi boleh menunjukkan pasang surut namun penguasaan atau pendudukan terus berjalan.

Bahkan Singgih menyatakan China bukanlah bangsa dan negara yang pertama-tama menjelajahi kawasan Laut China Selatan. Pelayaran Nusantara – China justru dirintis oleh orang-orang dari Nusantara, sejarah abad ke-5 masehi utusan-utusan dagang dari berbagai kerajaan di Nusantara sudah datang di China, misalnya dari Tarumanegara, Kalingga, Sriwijaya, Melayu, dan sebagainya. Tidak satu pun ada berita bahwa China melakukan pelayaran ke Nusantara.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram