Peringatan Hari Lingkungan Hidup Nasional, LDII Tekankan Perbaikan Kualitas Udara

Share to :
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Padang (11/1) Indonesia menduduki peringkat ke-17, hasil laporan Kualitas Udara Dunia IQAir yang dirilis pada Maret 2022 lalu. Artinya, Indonesia masuk sebagai salah satu negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia, dengan konsentrasi PM2,5 mencapai 34,3 μg per meter kubik.

World Health Organization (WHO) menganjurkan, paparan PM2,5 dibatasi 10 mikrogram per meter kubik. PM 2,5 merupakan partikel udara yang memiliki ukuran lebih kecil atau sama dengan 2,5 µm (mikrometer).

Melihat data tersebut, tak salah jika kontribusi seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama memperbaiki kualitas udara menjadi sebuah keharusan dan prioritas.

Ini sejalan dengan tujuan Hari Lingkungan Hidup Indonesia yang jatuh pada 10 Januari ini, untuk meningkatkan, dan mendorong kepedulian masyarakat terkait pentingnya menjaga, serta melestarikan lingkungan.

Pengurus Departemen Litbang, IPTEK, Sumberdaya Alam dan Air (LISDAL) DPP LDII, Atus Syahbudin mengungkapkan, Indeks Kualitas Udara (IKU) diperoleh dari pengukuran kadar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) di udara. “Kandungan SO2 berasal dari emisi industri dan mesin diesel berbahan bakar solar, atau bahan bakar lainnya yang mengandung sulfur. Sedangkan NO2 berasal dari emisi kendaraan bermotor, berbahan bakar bensin,” katanya.

Selain SO2 dan NO2, pencemaran di udara juga diakibatkan oleh berbagai polutan seperti karbon monoksida (CO), serta partikel ozon di permukaan.

Menurut Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada itu, udara yang bersih sesungguhnya telah disediakan sejak zaman dahulu. “Ketika alam belum terusik. Pada waktu itu, manusia memanfaatkan alam secukupnya dengan kearifan lokal masing-masing,” tegasnya.

Namun, ia menilai, era industri mulai mengeksploitasi alam secara berlebihan. Banyak hal, selalu dihitung berdasarkan nilai ekonomi. “Pemandangan alam yang indah, air yang melimpah, dengan udara sejuknya, serta beranekaragam flora dan fauna, masih jauh dari harapan untuk menyumbangkan devisa,” jelas Atus.

Sialnya, ia mengungkapkan, keberadaan alam lalu tidak dianggap. “Sering dikalahkan dan dikorbankan. Lanskap hijau pun dihabisi demi pembangunan yang menghasilkan produk barang dan jasa yang katanya, membuka lapangan pekerjaan, mendatangkan devisa dan lainnya,” ujarnya.

Untuk itu, langkah perubahan untuk menekan polusi udara, dapat dimulai dari keluarga, sebagai komunitas terkecil. “Semua keluarga memerlukan edukasi tentang lingkungan hidup sejak dini,” jelas Atus.

Selanjutnya, diikuti aksi-aksi kecil berskala rumah tangga. “Termasuk mewujudkan udara yang bersih. Dalam hal ini, sebisa mungkin meningkatkan tutupan lahan dengan menanam pepohonan, dan mengurangi sumber emisi dari rumah tangga,” urainya.

Menurutnya, manusia membutuhkan pepohonan untuk menghasilkan oksigen (O2). Atau mudahnya, udara bersih yang selalu dihirup setiap saat. “Tentu tak elok, kita mengambil oksigen dari pepohonan di pekarangan rumah tetangga kita,” pungkas Ketua DPW LDII Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut.

Tidak hanya itu, keuntungannya, tajuk pepohonan bisa meneduhkan, menghasilkan buah-buahan dan mengonservasi air hujan untuk ditabung, guna persiapan di musim kemarau. Lebih jauh lagi, ia menjelaskan, rimbunnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) berkat pepohonan di perkotaan atau tempat berkumpulnya berbagai aktivitas, mampu menyerap partikel debu dan mengurangi kadar CO, SO2, dan NO2 di udara.

“Bukankah kita juga mengeluarkan karbondioksida (CO2) sehingga pepohon di rumah pastilah mampu menyerapnya. Lalu bersama air (O2), sinar matahari dan klorofil dimasak menjadi salah satu macam karbohidrat penyusun kayu (C6H12O6),” kata Atus.

Selain itu, upaya yang dapat dilakukan setiap keluarga untuk mengurangi sumber emisi dari rumah tangga, dapat berupa pengurangan penggunaan kendaraan bermotor berbahan bensin dan solar. Dengan membudayakan berjalan kaki atau bersepeda.

Usaha selanjutnya, adalah dengan tidak membakar sampah rumah tangga. “Seyogyanya sampah dapat dipilah, minimal menjadi dua. Sampah organik dari sisa dapur dan dedaunan ditimbun di dalam jujugan di setiap rumah. Adapun sampah anorganik, dipisah dan dapat dijual kembali,” tutupnya.

Dilain tempat, Ketua DPW LDII Sumbar H. Afrizal Yaman menceritakan, sejak dirilisnya program Go Green tahun 2008, LDII Sumbar sudah melaksanakan gerakan tanam 1000 pohon dibeberapa titik di Sumbar. Gerakan ini dilakukan secara masal pada periode-periode kepemimpinan LDII sebelumnya.

“LDII sudah berfokus pada lingkungan hidup lebih dari satu dekade lalu, upaya ini dijadikan sebagai gerakan masal yang dilakukan secara masif di Indonesia, mulai dari menanam pohon, memilah sampah, mengelola sampah, sampai mengurangi penggunaan plastik dan kertas atau paperless“. ujarnya.

Kemudian, pada satuan tingkata pendidikan di bawah naungan LDII Sumbar, LDII mendorong yayasan yang mengelola sekolah, majelis taklim dan pondok pesantren se Sumatera Barat untuk menjadi sekolah adiwiyata atau eco-pesantren yang menerapkan indikator pelestarian lingkungan hidup. “Bagi majelis taklim, masjid, sekolah dan pesantren, berupaya menerapkan konsep eco-masjid, eco-pesantren,” tambahnya.

Lebih lagi, Afrizal juga menekankan pada level paling bawah, yaitu rumah tangga, sekolah, majelis taklim, musholla dan masjid melaksanakan skema “Program Kampung Iklim”. “Sebagaimana yang telah diwujudkan oleh Kampung Proklim Sangurejo Sleman, DIY,  dan Kampung Proklim Utama RW Agrowisata Pekanbaru, Riau,” tutupnya.

DPP LDII melalui program Go Green, sejak tahun 2008 telah menanam setidaknya 4 juta pohon di seluruh Indonesia. Bahkan, LDII telah membangun arboretum, untuk penelitian tanaman endemik di Perkebunan Teh Jamus, Ngawi, Jawa Timur. (RNY/Lines)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram