Sejarawan Undip: Di Tengah Ketegangan Perang Dagang Amerika-China Indonesia Harus Pertahankan Perannya

Share to :
Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Jakarta (18/4). Tujuh dekade setelah Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar di Bandung pada 18 April 1955, gaungnya masih terasa kuat. Momen bersejarah tersebut menjadi penanda penting keberanian negara-negara Asia dan Afrika untuk menentukan nasibnya sendiri di tengah pusaran geopolitik dunia.

Peringatan ini bukan hanya nostalgia sejarah, melainkan pengingat peran strategis Indonesia dalam membentuk poros baru di kancah global. Saat negara-negara berkembang masih berjuang lepas dari cengkeraman kolonialisme, Indonesia tampil sebagai inisiator dialog global melalui KAA.

Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, KAA merupakan wujud nyata dari inisiatif Indonesia dalam menghadapi dinamika global yang kala itu didominasi oleh ketegangan Blok Barat dan Timur. “Indonesia tidak ingin hanya menjadi objek globalisasi, tapi berambisi menjadi subjek yang ikut mengarahkan arah globalisasi itu sendiri,” tegasnya.

Konferensi Asia-Afrika berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan antara dua kutub kekuatan dunia: Amerika Serikat dengan ideologi kapitalisnya, dan Uni Soviet yang mengusung sosialisme-komunisme. Di tengah tarik menarik kepentingan dua blok tersebut, Indonesia justru mengambil langkah progresif. Presiden Soekarno menggagas konferensi yang menyatukan suara negara-negara Asia dan Afrika agar tidak terseret konflik dua raksasa dunia.

Hari ini, dunia telah banyak berubah. Negara-negara yang dulu berstatus jajahan kini menjelma menjadi kekuatan ekonomi-politik global. Contohnya adalah munculnya BRICS – koalisi negara-negara berkembang seperti Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan – yang menjadi simbol pergeseran kekuatan dari Barat ke Timur.

Banyak pengamat melihat BRICS sebagai fondasi dari dunia multipolar. Namun Prof. Singgih berpendapat bahwa meskipun secara tampak dunia terlihat multipolar, nuansa bipolar masih terasa kuat. “Amerika dan sekutunya masih memainkan peran dominan, sedangkan Tiongkok dan Rusia memimpin narasi tandingan,” jelasnya.

Meskipun bentuk ketegangan ideologi telah berubah, semangat KAA tetap relevan. Menurut Prof. Singgih, nilai-nilai yang diusung dalam konferensi itu—anti-dominasi, keadilan global, kesetaraan antarbangsa—masih sangat dibutuhkan hari ini. “KAA bukan hanya simbol perlawanan terhadap kolonialisme, tetapi juga tawaran visi dunia yang adil dan kolaboratif,” ujarnya.

Namun, ia menekankan bahwa kekuatan Indonesia di panggung global harus diawali dari konsolidasi internal. Tanpa fondasi nasional yang kuat, posisi Indonesia akan mudah goyah di tengah dinamika internasional. “Kalau dalam negeri kita rapuh, sulit rasanya bicara peran strategis di luar negeri,” imbuhnya.

Untuk mengembalikan peran Indonesia sebagai pelaku utama dalam percaturan dunia, Prof. Singgih menegaskan pentingnya kembali ke jati diri bangsa. Proklamasi Kemerdekaan dan nilai-nilai Pancasila harus menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Tidak cukup hanya menjadi slogan, nilai-nilai itu harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

“Kalau kita ingin menjadi bangsa yang maju dan dihormati di dunia internasional, kita harus mulai dengan memperkuat semangat negara Pancasila. Dari situlah kontribusi kita terhadap tata dunia baru akan bermakna,” tutupnya.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram