Jakarta (23/8). Sejumlah ormas Islam hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar Panitia Kerja (Panja) Haji Komisi VIII DPR RI terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Kegiatan itu berlangsung di Gedung Nusantara II, Jakarta, pada Rabu (20/8/2025).
Masukan dan rekomendasi disampaikan oleh sejumlah ormas, termasuk LDII, demi memperkuat kualitas penyelenggaraan haji dan umrah di Indonesia.
Isu pelayanan, menurut Ketua Panja Haji sekaligus Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Singgih Januratmoko, menjadi perhatian utama dalam pembahasan RUU tersebut. Ia menjelaskan, mulai 2026 pelayanan haji akan langsung dijalankan oleh Badan Penyelenggara Haji. “Dengan adanya konsep Kampung Haji, perbaikan secara menyeluruh ingin dilakukan,” tegasnya.
Sementara itu, 10 poin usulan dipaparkan Sekretaris Umum DPP LDII, Dody Taufiq Wijaya, agar dimasukkan dalam pembahasan RUU. Pertama, masa tunggu haji yang mencapai lebih dari 30 tahun di beberapa daerah dianggap harus segera dicarikan solusi.
Pemerintah bersama DPR, menurut Dody, perlu diminta untuk merumuskan skema tambahan kuota, haji khusus, atau menjalin kerja sama bilateral dengan Kerajaan Arab Saudi maupun negara lain, sehingga daftar tunggu dapat dipersingkat.
“Regulasi tentang alokasi kuota dan tambahan kuota antara haji reguler dan khusus perlu diperjelas. Dengan begitu praktik jual-beli kuota oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), baik resmi maupun tidak resmi, termasuk penggunaan visa non-haji, bisa dihentikan,” ujarnya.
Poin kedua, revisi UU diminta memperkuat transparansi, perlindungan jamaah, tata kelola keuangan, serta peningkatan layanan. Laporan rinci dan berkala mengenai dana haji, hasil investasi, biaya operasional, dan alokasi manfaat harus dibuka kepada publik.
“Usulan ini telah kami sampaikan juga dalam RDPU terkait RUU Perubahan UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji pada 6 Maret 2025. Dengan transparansi, pertanyaan publik tentang pengelolaan dana bisa terjawab, imbal hasil investasi jelas, serta kepercayaan jamaah semakin kuat,” jelasnya.
Selain itu, regulasi keberangkatan jamaah lansia, disabilitas, dan yang sudah lama menunggu didorong LDII masuk dalam prioritas melalui kuota khusus. Prinsip keadilan dan perlindungan bagi jamaah rentan, kata Dody, wajib dipenuhi.
Digitalisasi juga perlu dioptimalkan. Aplikasi yang terintegrasi dan real time harus dipakai untuk pendaftaran, pelunasan, manasik, pencarian informasi, hingga pelaporan perjalanan. Dengan cara itu, praktik percaloan dan pungli bisa ditekan, serta efisiensi pelayanan meningkat.
Lebih jauh, izin operasional PIHK dan PPIU diminta diperketat. Sanksi tegas serta jalur hukum harus dijatuhkan pada penyelenggara yang menipu, menggelapkan dana, melakukan overbooking, gagal memberangkatkan, atau menelantarkan jamaah.
“Kelembagaan penyelenggara haji juga harus diperkuat. Idealnya, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia memiliki lembaga setingkat kementerian yang langsung bertanggung jawab kepada presiden, agar ibadah haji dan umrah dikelola secara fokus dan profesional,” tambahnya.
Standar minimum pelayanan seperti akomodasi, konsumsi, transportasi, bimbingan ibadah, dan kesehatan pun ditekankan agar wajib dipenuhi. Dengan begitu, ketimpangan kualitas layanan bisa dicegah dan ibadah jamaah tetap lancar hingga kembali ke tanah air.
LDII juga meminta adanya jalur hukum cepat bagi jamaah yang dirugikan. Sebab, selama ini jamaah enggan menuntut hak karena proses hukum panjang dan mahal.
Asuransi dan jaminan sosial berbasis syariah menjadi poin kesembilan. Menurut LDII, setiap jamaah wajib dilindungi asuransi jiwa, kesehatan, dan perjalanan yang terjangkau untuk menjamin keselamatan, mengingat risiko kesehatan saat haji cukup tinggi.
Terakhir, LDII menekankan pentingnya penguatan pendidikan manasik. Manasik berbasis kurikulum nasional, simulasi digital, hingga pemanfaatan virtual reality (VR) perlu diwajibkan agar jamaah lebih siap secara mental, fisik, dan spiritual.